Ruang digital sekarang menjadi semakin kompetitif untuk mendapatkan perhatian pengguna dan penempatan iklan, karena itu, banyak brand mulai mempertanyakan formula DTC.
Sejak pandemi, retailer tradisional dan brand pasar masal telah meningkatkan infrastruktur digital mereka untuk mengikuti jejak konsumen. Konsumen sekarang lebih memilih infrastruktur digital karena lebih andal dan untuk menyari kenyamanan dengan brand yang mereka kenal. Bagaimana startup DTC dapat memasuki lanskap digital yang sudah penuh ini dan bersaing dengan brand lain yang lebih dewasa?
Di tengah-tengah kompetisi yang cepat di ruang digital
Pada satu sisi, pasar untuk brand DTC dan permintaan konsumen sedang berkembang. Berdasarkan perkiraan eMarketer di tahun 2021, 35% dari total populasi di AS akan melakukan pembelian di setidaknya satu brand DTC, yang berarti ada sekitar 96 juta basis pelanggan di AS. Dibandingkan dengan tahun lalu, jumlah pembeli DTC meningkat 9,8% (Sumber: eMarketer).
Meskipun ukuran pasar DTC diperkirakan untuk berkembang secara stabil, sekitar 15-17% pada tahun 2021-2023, banyak pemain yang kesulitan untuk menjaga arus perkembangan atau menghasilkan keuntungan yang stabil. Tahun lalu, brand tradisional mampu mengejar atau bahkan melebihi kapabilitas digital dari retailer online independen. Contoh terbesar di sini adalah Nike, Lululemon, dan Chewy.
Konsumen lebih percaya brand pasar masal, terutama saat membeli produk-produk yang harus dimiliki. Dewasanya, model-model DTC masih lebih baik diposisikan untuk kategori non-essential: para pengguna lebih memilih opsi ini hanya saat melakukan pembelian diskresioner. Selain pola belanja ini, harga CPM di dalam ekosistem 'walled garden' terus meningkat karena permintaan yang lebih tinggi; pada Q1 2021, social ad CPM meningkat hingga hampir 16% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (sumber: eMarketer).
Kompetisi sekarang menjadi lebih cepat tidak hanya karena brand tradisional berpindah ke digital, tapi juga karena semakin banyak DTC yang menjalankan dirinya sendiri. Baik itu kaca mata atau pakaian dalam, kemiripan hanya akan membunuh efektivitas dari dua pesan yang serupa. Dengan semakin banyaknya konsumen yang kebal terhadap strategi umum, marketer sekarang harus mampu menemukan perbedaan yang mencolok dan menggunakan perspektif yang berbeda untuk menjaga agar format direct-to-consumer tetap relevan.
Brand DTC yang sukses saat ini menawarkan harga dengan value yang tinggi, menggunakan branding modern dan tren baru, dan menggunakan kapabilitas digital yang bervariasi untuk berinteraksi dengan pelanggan. 2021 DTC Purchase Intent Index dari Diffusion melaporkan bahwa 44% dari konsumer di AS percaya bahwa brand DTC memproduksi barang berkualitas lebih tinggi dengan harga yang lebih murah dan hanya 23% menganggap brand DTC sebagai trendsetter.
Bagaimana DTC dapat berkembang dengan native
Cara pikir gen-Z sekarang ini mengubah peraturan dari audience engagement yang semula fokus ke 'apa' menjadi 'kenapa'. Salah satu cara untuk mengubah fokus ini adalah dengan menjelaskan nilai apa yang dijunjung oleh brand DTC, bagaimana barang-barang ini telah dibuat, atau menyuarakan pendapat tentang gerakan komunitas. Sebagai contoh, pendiri Hint Water menerbitkan cerita tentang bagaimana dia menemukan ide awal untuk memasarkan minuman berasa tanpa pemanis.
Bergerak dari strategi umum, brand DTC sukses juga telah menjadi lebih peka terhadap konsumen mereka, dan meniru apa yang penting bagi para konsumen mereka saat ini. Strategi konten lainnya yang dapat dilakukan adalah meletakkan masalah asli yang dihadapi oleh para konsumen di baris depan dan menjelaskan bagaimana produk yang disponsori dapat memperbaiki hidup mereka.
Saat ini, banyak penerbit yang dapat membantu pengiklan untuk memproduksi post tersponsor yang disesuaikan atau bahkan menyerahkan tugas untuk membuat konten tersponsor ke studio mitra. Proyek-proyek konten tersponsor ini dapat berupa artikel, film, kuis interaktif, infografis, ebook, dll. Iklan display native, dan terutama widget rekomendasi konten, dapat berfungsi sebagai metode distribusi untuk meraih target pemirsa dan membawa traffic ke halaman-halaman yang diinginkan.
Selagi content marketing dapat berfungsi untuk meningkatkan brand, iklan native juga bekerja di bagian bawah dari funnel. Para pengiklan dapat menawarkan sampel uji coba spesial, diskon, atau menarget ulang pengguna yang telah mengunjungi publikasi tersponsor. Para pengguna yang sudah akrab dengan cerita produk dan ingin mendukung brand tertentu, kemungkinan akan lebih sering berubah menjadi pelanggan.
Penutup
Selagi brand-brand tradisional harus bertahan di pasar kacau saat pandemi dan menskalakan kapabilitas digital mereka dengan lebih cepat, sekarang adalah waktunya untuk merombak atribut-atribut umum dari model DTC. Ide dan semangat dari e-commerce saat ini membutuhkan perbedaan yang lebih mendalam dari pesan-pesan brand, dan juga diversifikasi dari saluran-saluran distribusi.